Sabtu, 06 Oktober 2012

SEJARAH PERKEMBANGAN KOPERASI

Koperasi diperkenalkan di Indonesia oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnyayang terjerat hutang dengan rentenir.
Koperasi tersebut lalu berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi Oetomo dan SDI.
Belanda yang khawatir koperasi akan dijadikan tempat pusat perlawanan, mengeluarkan UU no. 431 tahun 19 yang isinya yaitu :
- Harus membayar minimal 50 gulden untuk mendirikan koperasi
- Sistem usaha harus menyerupai sistem di Eropa
- Harus mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral
- Proposal pengajuan harus berbahasa Belanda
Hal ini menyebabkan koperasi yang ada saat itu berjatuhan karena tidak mendapatkan izin Koperasi dari Belanda. Namun setelah para tokoh Indonesia mengajukan protes, Belanda akhirnya mengeluarkan UU no. 91 pada tahun 1927, yang isinya lebih ringan dari UU no. 431 seperti :
- Hanya membayar 3 gulden untuk materai
- Bisa menggunakan bahasa derah
- Hukum dagang sesuai daerah masing-masing
- Perizinan bisa di daerah setempat
Koperasi menjamur kembali hingga pada tahun 1933 keluar UU yang mirip UU no. 431 sehingga mematikan usaha koperasi untuk yang kedua kalinya.
Pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia. Jepang lalu mendirikan koperasi kumiyai. Awalnya koperasi ini berjalan mulus. Namun fungsinya berubah drastis dan menjadi alat jepang untuk mengeruk keuntungan, dan menyengsarakan rakyat.
Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Hari ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia.
AWAL PERTUMBUHAN KOPERASI INDONESIA
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 (Ahmed
1964, h. 57) yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai
sekarang. Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang naik
dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang
berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya.
Jikalau pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada
kegiatan simpan-pinjam (Soedjono 1983, h.7) maka selanjutnya tumbuh pula
koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang
konsumsi dan dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan
penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi. Perkembangan
koperasi dari berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada
kecenderungan menuju kepada suatu bentuk koperasi yang memiliki
beberapa jenis kegiatan usaha. Koperasi serba usaha ini mengambil
langkah-langkah kegiatan usaha yang paling mudah mereka kerjakan terlebih
dulu, seperti kegiatan penyediaan barang-barang keperluan produksi
bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun kegiatan
penyediaan barang-barang keperluan konsumsi bersama-sama dengan
kegiatan simpan-pinjam dan sebagainya (Masngudi 1989, h. 1-2).
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja patih
di Purwokerto (1896), mendirikan koperasi yang bergerak dibidang simpanpinjam.
Untuk memodali koperasi simpan- pinjam tersebut di samping
banyak menggunakan uangnya sendiri, beliau juga menggunakan kas mesjid
yang dipegangnya (Djojohadikoesoemo, 1940, h 9). Setelah beliau
mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka uang kas mesjid telah
dikembalikan secara utuh pada posisi yang sebenarnya.
Kegiatan R Aria Wiriatmadja dikembangkan lebih lanjut oleh De Wolf
Van Westerrode asisten Residen Wilayah Purwokerto di Banyumas. Ketika
ia cuti ke Eropa dipelajarinya cara kerja wolksbank secara Raiffeisen
(koperasi simpan-pinjam untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi
simpan-pinjam untuk kaum buruh di kota) di Jerman. Setelah ia kembali dari
cuti melailah ia mengembangkan koperasi simpan-pinjam sebagaimana telah
dirintis oleh R. Aria Wiriatmadja . Dalam hubungan ini kegiatan simpanpinjam
yang dapat berkembang ialah model koperasi simpan-pinjam lumbung
dan modal untuk itu diambil dari zakat.
Selanjutnya Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908
menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Demikian
pula Sarikat Islam yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan koperasi
yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka tokotoko
koperasi. Perkembangan yang pesat dibidang perkoperasian di
Indonesia yang menyatu dengan kekuatan social dan politik menimbulkan
kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia
Belanda ingin mengaturnya tetapi dalam kenyataan lebih cenderung menjadi
suatu penghalang atau penghambat perkembangan koperasi. Dalam
hubungan ini pada tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431 yang berisi
antara lain :
a. Akte pendirian koperasi dibuat secara notariil;
b. Akte pendirian harus dibuat dalam Bahasa Belanda;
c. Harus mendapat ijin dari Gubernur Jenderal;
dan di samping itu diperlukan biaya meterai 50 gulden.
Pada akhir Rajab 1336H atau 1918 K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng
Jombang mendirikan koperasi yang dinamakan “Syirkatul Inan” atau disingkat
(SKN) yang beranggotakan 45 orang. Ketua dan sekaligus sebagai manager
adalah K.H. Hasyim Asy ‘ari. Sekretaris I dan II adalah K.H. Bishri dan Haji
Manshur. Sedangkan bendahara Syeikh Abdul WAhab Tambakberas di
mana branndkas dilengkapi dengan 5 macam kunci yang dipegang oleh 5
anggota. Mereka bertekad, dengan kelahiran koperasi ini unntuk dijadikan
periode “nahdlatuttijar” . Proses permohonan badan hukum direncanakan
akan diajukan setelah antara 2 sampai dengan 3 tahun berdiri.

Berbagai ketentuan dan persyaratan sebagaimana dalam ketetapan
Raja no 431/1915 tersebut dirasakan sangat memberatkan persyaratan
berdiriya koperasi. Dengan demikian praktis peraturan tersebut dapat
dipandang sebagai suatu penghalang bagi pertumbuhan koperasi di
Indonesia, yang mengundang berbagai reaksi. Oleh karenanya maka pada
tahun 1920 dibentuk suatu ‘Komisi Koperasi’ yang dipimpin oleh DR. J.H.
Boeke yang diberi tugas neneliti sampai sejauh mana keperluan penduduk
Bumi Putera untuk berkoperasi.
Hasil dari penelitian menyatakan tentang perlunya penduduk Bumi
putera berkoperasi dan untuk mendorong keperluan rakyat yang
bersangkutan. Selanjutnya didirikanlah Bank Rakyat ( Volkscredit Wezen ).
Berkaitan dengan masalah Peraturan Perkoperasian, maka pada tahun 1927
di Surabaya didirikan “Indonsische Studieclub” Oleh dokter Soetomo yang
juga pendiri Boedi Oetomo, dan melalui organisasi tersebut beliau
menganjurkan berdirinya koperasi. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh
Partai Nasional Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana pada
tahun 1929 menyelenggarakan kongres koperasi di Betawi. Keputusan
kongres koperasi tersebt menyatakan bahwa untuk meningkatkan
kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam
koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Untuk menggiatkan pertumbuhan koperasi, pada akhir tahun 1930
didirikan Jawatan Koperasi dengan tugas:
a. memberikan penerangan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia
mengenai seluk beluk perdagangan;
b. dalam rangka peraturan koerasi No 91, melakukan pengawasan dan
pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi, serta memberikan
penerangannya;
c. memberikan keterangan-keterangan tentang perdagangan
pengangkutan, cara-cara perkreditan dan hal ihwal lainnya yang
menyangkut perusahaan-perusahaan;
d. penerangan tentang organisasi perusahaan;
e. menyiapkan tindakan-tindakan hukum bagi pengusaha Indonesia
( Raka.1981,h.42)
DR. J.H. Boeke yang dulunya memimpin “Komisi Koperasi” 1920
ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Koperasi yang pertama.
Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian
dalam berntuk Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsblad
no. 108/1933 yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915.
Peraturan Perkoperasian 1933 ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa dan
golongan Timur Asing. Dengan demikian di Indonesia pada waktu itu
berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni Peraturan Perkoperasian tahun
1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan Peraturan
Perkoperasian tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur
Asing.
Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan

PERKEMBANGAN KOPERASI DALAM SISTEM EKONOMI TERPIMPIN
Dalam tahun 1959 terjadi suatu peristiwa yang sangat penting dalam
sejarah bangsa Indonesia. Setelah Konstituante tidak dapat menyelesaikan
tugas menyusun Undang-Undang Dasar Baru pada waktunya, maka pada
tanggal 15 Juli 1959 Presiden Soekarno yang juga selaku PAnglima Tertinggi
Angkatan Perang mengucapkan Dekrit Presiden yang memuat keputusan
dan salahsatu daripadanya ialah menetapkan Undang-Undang Dasar 1945
berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh Tanah Tumpah Darah
Indonesia, terhitung mulai dari tanggal penetapan dekrit dan tidak berlakunya
lagi Undang-Undang Dasar Sementara. Pada tanggal 17 Agustus 1959
Presiden Soekarno mengucapkan pidato kenegaraan yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita”, atau lebih dikenal dengan Manifesto
politik (Manipol). Dalam pidato itu diuraikan berbagai persoalan pokok dan
program umum Revolusi Indonesia yang bersifat menyeluruh. Berdasarkan
Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 pidato itu ditetapkan sebagai Garis-garis
Besar Haluan Negara RI dan pedoman resmi dalam perjuangan
menyelesaikan revolusi. Dampak Dekrit Presiden dan Manipol terhadap
Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi adalah
undang-undang yang belum berumur panjang itu telah kehilangan dasar dan
tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat UUD 1945 dan Manipol.
Karenanya untuk mengatasi keadaan itu maka di samping Undang-Undang
No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi dikeluarkan pula
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan
Koperasi (dimuat dalam Tambahan aLembaran Negara No. 1907).
Peratuarn ini dibuat sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-
Undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi dan merupakan
penyempurnaan dari hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang
tersebut. Peraturan itu membawa konsep pengembangan koperasi secara
missal dan seragam dan dikeluarkan berdasarkan pertimbanganpertimbangan
sebagai berikut :
(1) Menyesuaikan fungsi koperasi dengan jiwa dan semangat UUD 1945
dan Manipol RI tanggal 17 Agustus 1959, dimana koperasi diberi
peranan sedemikian rupa sehingga kegiatan dan penyelenggaraannya
benar-benar dapat merupakan alat untuk melaksanakan ekonomi
terpimpin berdasarkan sosialisme ala Indonesia, sendi kehidupan
ekonomi bangsa Indonesia dan dasar untuk mengatur perekonomian
rakyat guna mencapai taraf hidup yang layak dalam susunan
masyarakat adil dan makmur yang demokratis;
(2) Bahwa pemerintah wajib mengambil sikap yang aktif dalam membina
Gerakan Koperasi berdasarkan azas-azas demokrasi terpimpin, yaitu
menumbuhkan, mendorong, membimbing, melindungi dan mengawasi
perkembangan Gerakan Koperasi, dan;
(3) Bahwa dengan menyerahkan penyelenggaraan koperasi kepada
inisiatif Gerakan Koperasi sendiri dalam taraf sekarang bukan saja
tidakk mencapai tujuan untuk membendung arus kapitalisme dan
liberalism, tetapi juga tidak menjamin bentuk organisasi dan cara
bekerja yang sehat sesuai dengan azas-azas koperasi yang
sebenarnya (Sularso 1988, h. VI-VII).
Dalam tahun 1960 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No. 140 tentang penyaluran bahan pokok dan penugasan Koperasi untuk
melaksanakannya. Dengan peraturan ini maka mulai ditumbuhkan koperasikoperasi
konsumsi. Penumbuhan koperasi oleh Pemerintah secara missal
dan seragam tanpa memperhatikan syarat-syarat pertumbuhannya yang
sehat, telah mengakibatkan pertumbuhan koperasi yang kurang sehat. Lebih
jauh dari itu Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 menetapkan bahwa sector
perekonomian akan diatur dengan dua sektor yakni sector Negara dan sector
koperasi, dimana sector swasta hanya ditugaskan untuk membantu. Pada
saat mulai dikemukakan ide pengaturan ekonomi dengan prinsip Demokrasi
dan Ekoomi Terpimpin. Undang-undang No. 79 tahun 1958 tentang
Perkembangan Gerakan Koperasi. Peraturan ini membawa konsep
pengembangan koperasi secara massal dan seragam.
Pada tahun 1961 diselenggarakan Musyawarah Nasional KOperasi I
(Munaskop I) di Surabaya untuk melaksanakan prinsip Demokrasi Terpimpin
dan Ekonomi Terpimpin. Langkah-langkah mempolitikankan (verpolitisering)
koperasi mulai nampak. Dewan Koperasi Indonesia diganti dengan Kesatuan
Organisasi KOperasi Seluruh Indonesia (KOKSI) yang bukan semata-mata
organisasi koperasi sendiri malainkan organisasi koperasi-koperasi yang
dipimpin oleh Pemerintah, dimasa Menteri Transmigrasi, Koperasi dan
Pembangunan Masyarakat Desa (Trasnkopenda) menjadi Ketuanya (Team
UGM, 1984, h.143-144).
Sebagai puncak pengukuhan hokum dari uapaya mempolitikkan
(verpolitisering) koperasi dalam suasana demokrasi terpimpin yakni di
terbitkannya UU No.14 tahun 1965 tentang perkoperasian yang dimuat
didalam Lembaran Negara No. 75 tahun 1960. Salah satu pasal yang
terpenting adalah pasal 5 yang berbunyi :
“Koperasi, struktur, aktivitas dan alat pembinaan serta alat
perlengkapan organisasi koperasi, mencerminkan kegotong-royongan
progresif revolusioner berporoskan Nasakom (Nasional, Agama, Komunis)”.
Dalam memori penjelasannya dinyatakan sebagai berikut :
“Sesuai dengan penjelasan umum perkoperasian (pola koperasi) tidak
dapat dipisahkan dari masalah Revolusi pada umumnya (doktrin Revolusi),
sehingga tantangan-tantangan dari gerakan koperasi hakekatnya merupakan
tantangan daripada Revolusi itu sendiri”
Pengalaman-pengalaman perjuangan kita dalam menghadapi
tantangan-tantangan tersebut, menunjukkan keharusan obyektif adanya
persatuan dan kesatuan segenap potensi dan kekuatan rakyat yang progresif
Revolusioner berporos Nasakom, yang pelaksanaannya diatur dengan
kegotong-royongan antara Pemerintah dengan kekuatan-kekuatan Nsakom.
Selanjutnya peranan gerakan koperasi dalam demokrasi terpimpin dan
ekonomi terpimpin diatur didalam pasal 6 dan pasal 7. Pasal 6 berbunyi
sebagai berikut : “ Gerakan Koperasi mempunyai peranan :
a) Dalam tahap nasional demokrasis :
1. Mempersatukan dan memobilisir seluruh rakyat pekerja dan produsen
kecil yang merupakan tenaga-tenaga produktif untuk meningkatkan
produksi, mengadilkan dan meratakan distribusi;
2. Ikut serta menghapus sisa-sisa imperalisme, kolonialisme dan
feodalisme;
3. Membantu memperkuat sector ekonomi Negara yang memegang
posisi memimpin;
4. Menciptakan syarat-syarat bagi pembangunan masyarakat sosialis
Indonesia.
b) Dalam Tahap sosialisme Indonesia :
1. Menyelenggarakan tata ekonomi tanpa adanya penghisapan oleh
manusia atas manusia;
2. Meningkatkan tingkat hidup rakyat jasmaniah dan rokhaniah;
3. Membina dan mengembangkan swadaya dan daya kreatif rakyat
sebagai perwujudan masyarakat gotong-royong.”
Pasal 7 menyatakan sebagai berikut :
1. “Pemerintah menetapkan kebijaksanaan pokok perkoperasian.
2. Dengan Peraturan Pemerintah diatur hubungan antara gerakan koperasi
dengan Pemerintah, Perusahaan Negara/Perusahaan Daerah dan swasta
bukan koperasi”. Memori penjelasannya menyatakan : “Untuk menjamin
azas Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin kebijaksanaan
perkoperasian ditetapkan oleh Pemerintah”.
Bersamaan dengan disyahkannya UU No. 14 tahuhn 1965
dilangsungkan Musyawarah Nasional KOperasi (Munaskop) II di Jakarta yang
pada dasarnya merupakan ajang legitiminasi terhadap masuknya kekuatankekuatan
politik di dalam koperasi sebagaimana diatur oleh UU
Perkoperasian tersebut. Dalam kesempatan tersebut, juga diputuskan bahwa
KOKSI (Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia) Menyatakan
keluar dari keanggotaan ICA.
Tindakan berselang lama yakni dalam bulan September 1965 terjadi
pemberontakan Gerakan 30 September yang didalangi oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang terpengaruh besar terhadap pengembangan koperasi.
Mengingat dalam UU no. 14 tahun 1965 secara tegas memasukan warna
politik di dalam kehidupan perkoperasian, maka akibat pemberontakan
G30S/PKI pelaksanaanya perlu di pertimbangkan kembali. Bahkan segera
disusul langkah-langkah memurnikan kembali kekoprasi kepada azas-azas
yang murni dengan cara “ deverpolitisering “. Koperasi-koperasi
menyelenggarakan rapat anggota untuk memperbaharui kepengurusan dan
Badan Pemeriksaannya. Reorganisasi dilaksanakan secara menyeluruh
untuk memurnikan koperasi di atas azas-azas koperasi yang sebenarnya
(murni)

http://jibon89.wordpress.com/2009/12/09/sejarah-perkembangan-ekonomi-koperasi-di-indonesia/

Senin, 11 Juni 2012

Conditional sentences – Introductio

Although most student grammars focus on four common patterns of conditional sentences or if-clauses which are often called zero, first, second and third conditionals, conditional sentences in English language have a variety of conditional forms and sentence structures.

Here are some of the most common uses of conditional sentences which will be discussed in detail later:

1. Uncertain events & situations

We use conditional sentences to talk about uncertain events and situations. 
Example:
Ask Mark if he is staying tonight. (He may or may not be staying)
If I see Nicky
, I will give convey your message.
(I may or may not see Nicky) 

2. Conditions
An if-clause can also refer to a condition – something which must happen first, so something else can happen.
Example:
If we can get there by tomorrow morning, we can have breakfast at Mark’s place.
I will go to market tomorrow if I am able to repair my car today.
3. If…then
We sometimes construct sentences with if…then to emphasize that one thing depends on another. But note that we do not use if…so in this way.
Example:
If he cannot walk, then she will have to help him. (NOT …so we will have to go and see her)
If Jennifer has no enough money, then we have to lend her some money.
Sponsored Links
4. If meaning “if it is true”
Another common use of if is to mean “if it is true that” or if it is the case that”
Example:
If you were in New York, why didn’t you come and see us?
If
it will help you, I will lend you some money
 
5. Unlikely, imaginary or untrue situations
Past (or special) tenses can be used to give the idea that something is unlikely, imaginary or untrue.
Example:
If I married you, we would both be unhappy. (Past tense used to talk about an imaginary future situation).
Position of if clauses
Note that an if-clause can come at the beginning or end of a sentence. When an if-clause comes first, it is often separated by comma. Compare:
If you eat too much, you get fat.
You get fat if you eat too much.
 
Zero, first, second & third conditionals
Most student grammars focus on four common patters with if which are often called zero, first, second and third conditionals as given below:
Zero conditional (used to talk about the general or scientific conditions which are always true)
If + present - infinitive
E.g. If you heat water, it boils. 
First conditional (used to talk about the future consequences of a specific event or situations)
If + present - will + infinitive
E.g. If we play tennis I will win. 
Second conditional (used to talk about unlikely, imaginary or untrue events or situations)
If + past – would + infinitive
E.g. If we played tennis, I would win. 
Third conditional (used to talk about things that didn't happened in the past and the consequence if they had happened)
If + past perfect – would have + past participle
E.g. If we had played tennis, I would have won. 
Although the the above four structures are useful to a beginner, it is important to realize that there are many different structures with if and that they may not be grouped into four main kinds as above.
As far as tenses are concerned, it is more accurate to distinguish two kinds of structures as;
1. If-clauses with ordinary tenses (including the so called first conditional) and
2. If-clauses with special tenses (including the so called second and third conditionals)
Conditional Sentences
Because conditional sentences are quite complex in both form and meaning, they are a problem for most learners of English. If you have a good understanding of the English tense system and of the modal auxiliaries, you will find it easier to understand and use conditional sentences. (The sentence you just read is a predictive conditional sentence.)
All conditional sentences contain a dependent clause and an independent clause. The dependent clause usually begins with if; it expresses a condition. The independent clause expresses a result of the condition. The if-clause is usually first, but the order of the clauses is usually not important. Thus, these two sentences have basically the same meaning:
If she goes to the store, she will buy ice cream.
She will buy ice cream if she goes to the store.
You have probably noticed that different teachers, textbooks, and Web sites sometimes explain the same thing in different ways. This seems to be especially true of conditional sentences. However, two different explanations can both be correct, especially if the difference is due to the fact that complicated material has been organized in different ways. This is often true of explanations of conditionals that you find in your textbooks. Here conditional sentences are divided into three types based on their meanings: real, predictive, and imaginative conditional sentences.
A. Real conditional sentences can express generalizations and inferences.
1. Generalizations include facts that are always true and never change, and they include present or past habitual activities that are or were usually true.
Real conditionals expressing generalizations usually have the same tense (usually simple present or simple past) in both clauses. However, if the simple present tense is used in the if-clause, will + verb can be used in the main clause without changing the meaning.
Examples of real conditional sentences expressing facts:
If water boils, it turns to steam.
If water boils, it will turn to steam.
Examples of real conditional sentences expressing habitual activities:
If he eats breakfast, he feels better all day.
If he eats breakfast, he will feel better all day.
If he ate breakfast, he felt better all day.
These generalizations can also be expressed by using when or whenever instead of if:
When water boils, it turns to steam.
When he eats breakfast, he feels better all day.
When he ate breakfast, he felt better all day. 
2. Inferences are often expressed in real conditional sentences.
Real conditionals expressing inferences usually have parallel verb phrases in both clauses. However, if a modal which explicitly expresses an inference (must or should, for example) is used in the main clause, parallel verb phrases are not used.
Examples of real conditional sentences expressing inferences:
If today is Wednesday, it is George’s birthday.
If I can do it, anyone can do it.
if it is raining, the streets are getting wet.
If he was at school, he saw the accident.
If today is Wednesday, it must be George’s birthday.
If I can do it, anyone must be able to do it.
if it is raining, the streets must be getting wet.
If he was at school, he must have seen the accident. 

B. Predictive conditional sentences can express predictions and plans.
1. Predictive conditional sentences usually contain simple present tense in the if-clause and will or be going to in the result clause. However, a weaker modal of prediction (may or should, for example) can be used in the result clause to express less certainty.
2. Examples of predictive conditional sentences:
If the exam is hard, many students are going to fail.
If Mary does well on the final exam, she will get an A in the class.
If George does well on the final exam, he may get an A in the class.
If Fred studies, he should pass the exam. 

C. Imaginative conditional sentences are the most difficult for many learners of English because of the unusual relationship between form (the tenses used) and meaning.
In this type of conditional sentence, past tense refers to present or future time; past perfect tense refers to past time. Another problem for many learners of English is that were (not was) is used with singular subjects. Be is the only English verb with two past tense forms, but only one of them (were) is used in imaginative conditional sentences.
Imaginative conditional sentences can express hypothetical or contrary-to-fact events or states.
1. Hypothetical events or states are unlikely but possible in the present or future.
Imaginative conditional sentences expressing hypothetical events or states have a past tense verb in the if-clause and would + verb (or might or could + verb) in the result clause.
Examples of hypothetical conditional sentences (present and/or future time):
If George had enough money, he would buy a new car.
If I won the lottery, I would buy you a present.
If she knew the answer, she would tell us.
(George probably does not have enough money; I probably will not win the lottery; she probably does not know the answer.)
2. Contrary-to-fact events or states are either impossible in the present time or did not happen in the past.
Imaginative conditional sentences expressing present contrary-to-fact events or states have a past verb in the if-clause and would + verb (or might or could + verb) in the result clause. Some examples:
If I were you, I would not do that.
If she studied for exams, she would get better grades.
If it were raining, the streets would be wet.
(I am not you; she doesn’t study for exams; it isn’t raining.) 
Imaginative conditional sentences expressing past contrary-to-fact events or states have a past perfect verb in the if-clause and would + have + verb (or might or could + have + verb) in the result clause. Some examples:
If George had had enough money, he would have bought a new car.
If I had won the lottery, I would have bought you a present.
If she had known the answer, she would have told us.
(George did not have enough money; I did not win the lottery; she did not know the answer.)
Saurce :
http://faculty.deanza.edu/flemingjohn/stories/storyReader$18
http://www.conditionalsentences.org/
http://rahmatheryudhi.blogspot.com/

Pengertian Noun Clause


Noun clause adalah klausa yang berfungsi sebagai nomina. Karena fungsinya sebagai nomina, maka noun clause dapat menduduki posisi-posisi berikut:
  1. Subjek kalimat (subject of a sentence)
  2. Objek verba transitif (object of a transitive verb)
  3. Objek preposisi (object of a preposition)
  4. Pelengkap (complement)
  5. Pemberi keterangan tambahan (noun in apposition)
Contoh Noun Clause


1. Noun Clause sebagai Subjek Kalimat ( subject of a sentence )
  • What you said doesn’t convince me at all.
  • How he becomes so rich makes people curious.
  • What the salesman has said is untrue.
  • That the world is round is a fact. 
2. Noun Clause sebagai Verba Transitif ( Object of a Transitive verb )
  • I know what you mean.
  • I don’t understand what he is talking about.
  • He said that his son would study in Australia 
3. Noun Clause Sebagai Preposisi ( object of a Preposition )
  • Please listen to what your teacher is saying.
  • Budi pays full attention to how the native speaker is pronouncing the English word
  • Be careful of what you’re doing
4. Noun Clause sebagai Pelengkap ( Completment )
  • The good news is that the culprit has been put into the jail.
  • This is what I want.
  • That is what you need.
5. Noun Clause sebagai Pemberi Keterangan Tambahan ( Noun in Apposition )
  • The idea that people can live without oxygen is unreasonable.
  • The fact that Rudi always comes late doesn’t surprise me 

 http://aptyoo.blogspot.com/2011/04/pengertian-noun-clause.html

http://rahmatheryudhi.blogspot.com/

Kamis, 15 Maret 2012

Pengertian dan Fungsi Adverbial Clause

Adverbial Clause

Adverb Clause terdiri dari dua kata yaitu “Adverb” and “Clause”
adverb adalah : kata keterangan yang menerangkan verb (kata kerja) dan adjective (kata sifat),
clause adalah : anak kalimat.

Jadi adverb clause adalah anak kalimat yang menerangkan kata sifat dan kata kerja dan berfungsi sebagai adverb.

Adverb clause adalah terdiri dari delapan macam: seperti: Adverb clause of time, Adverb clause of place, Adverb clause of number, Adverb clause of menner, adverb clause of reanson, adverb clause of result, adverb clause of condition, dan adverb clause of contrast.
Rumus umum dan contoh adverb clause.

Subject + predicet + conj + subject + predicet.

Tapi bisa saja conjuntion di awal sesuai dengan kalimatnya.

Contoh:
- I met her when + was walking to school.
- As he was sick, he went to she doctor.
- I can’t go out because my mother is sick.
Jenis-Jenis Adverb Clause

1. Adverb Clause of Reanson

Adalah : sebuah anak kalimat yang digunakan untuk menunjukkan sebab atau alasan. Adverb clause of reason di awali dengan konjungsi (penghubungnya) adalah : as/ since/ because/ whereas/ on the ground that.

Example:

- Is I love you, I can do anything for you.
- Since she has a desire to marry, she discontinued her studing.
- I stopped the work because I was tired.
- Whereas I came late, My father punishet me.
- His teacher punishet him on the grand that, he came late.


2. Adverb Clause of Result

Adalah : sebuah anak kalimat yang digunakan untuk menunjukkan hasil perbuatan atau akibat. Adverb clause of result di awali dengan konjungsi so that, so + adjective + that, so + adverb + that, so.

Example:

- Nadhavi was so beautiful that I loved her at first sight.
- He studies so hard that many studienst like him.


3. Adverb Clause of Condition

Adalah : sebuah anak kalimat yang digunakan untuk menunjukkan kondisi. Adverb clause of condition di awali dengan konjungsi if/ unless/ whether/ provided that and so long as.

Example:

- If you help me, I shall be happy.
- Unless you tell her about your love, she won’t know it
- You must do this wheter, you like it or not
- I ean help you provide that you must follow my advice
- So long as you work hard, you have no problem with me

4. Adverb Clause of Contrast


Adverb Clause of Contrast adalah sebuah anak kalimat yang menerangkan bertentangan. Adverb Clause of Contrast diawali dengan konjungsi: although, eventh ough, though, whet eyer, no matter, however much, not with standing that.


Example:

a. I still no money although I worked hard
b. Eventhough hehates me, he lend me the bock
c. Though he is rice, he never give me the money
d. Whatever he has done, he is your father
e. No mather what she sald, I still love her
f. She will never succed however much he may try
g. He was not refreshed not with standing that he had spent 2 weeks leave

Fungsi Adverbial Clause :
  1. Sentence Adverbs
  2. Conjunctive Adverbs
  3. Explanatory Adverbs
  4. Relative dan Interrogative Adverbs
  5. Exclamatory Adverbs
Pertama, Sentence adverbs (Kata keterangan kalimat)

Sentence adverb sering dianggap lebih menjelaskan keseluruhan kalimat daripada menjelaskan kata kerja (verb). Beberapa adverb berikut ini adalah sentence adverb :

a. fortunately
b. presumably
c. actually
d. obviously
e. evidently.

Meskipun dari segi bentuknya mirip dengan adverbs of manner, yaitu dengan menambahkan ly pada akhir descriptive adjective, namun dari segi fungsinya sentence adverb tadi merefleksikan 'pendapat / opini pembicara' daripada menjelaskan cara bagaimana melakukan sesuatu (dalam artian: adverbs of manner).

Contoh :

Fortunately, no one was hurt. = Untungnya, tidak ada orang yang luka.
Actually I have many problems = Sebenarnya saya punya banyak masalah.

Kedua, Conjunctive Adverbs

Conjunctive adverb menghubungkan antara satu kalimat atau klausa dan atau mengawali sebuah kalimat. Artinya bahwa conjunctive adverb itu adalah kata keterangan yang berfungsi menghubungkan satu kalimat dengan kalimat lain seperti fungsi conjunction pada umumnya. Conjunctive adverb juga dikenal dengan istilah connective.

Beberapa kata berikut ini adalah salah satu contoh conjunctive adverb:

a. therefore
b. accordingly
c. moreover
d. besides
e. however
f. nevertheless
g. otherwise
h. then
i. in addition
dll.

Contoh

I have no money; therefore, I cannot buy this pencil. = saya tidak punya duit oleh karena itu saya tidak bisa membeli pensil ini.

Ketiga, Explanatory Adverbs

Explanatory adverb adalah adverbs (kata keterangan) yang berfungsi mengilustrasikan / menjelaskan lebih lanjut. Adverb - adverb berikut adalah beberapa explanatory adverb yang umum digunakan.

a. namely = namanya
b. for example = sebagai contoh, contohnya
c. i.e / that is = yaitu
d. e.g. / for example = sebagai contoh, contohnya
e. viz. / namely = yaitu, adalah, bernama

Keempat, Relative dan Interrogative Adverbs

Ada empat kata yang termasuk relative adverbs yaitu : when, where, why, how (kapan, dimana, mengapa dan bagaimana)
  1. Relative adverbs -- adverb jenis ini mengawali adjective clause
  2. Interrogative adverbs -- adverbs jenis ini berada pada awal kalimat pertanyaan yang menggunakan WH Question when, where, why dan how. Selain itu, interrogative adverbs juga ada pada kalimat pertanyaan yang dijadikan noun clause.
Contoh :

  • We visited the house where a famous poet once lived. = mengawali adjective clause.
  • When will he arrived? = mengawali kalimat pertanyaan dengan menggunakan when, where, why dan how.
  • I asked when he would arrive? = mengawali noun clause jenis pertanyaan.

Kelima, Exclamatory Adverb

Exclamatory adverb adalah adverb berupa kata HOW yang digunakan pada kalimat exclamation (baca: Jenis Kalimat) dan memiliki makna betapa / sungguh.

Contoh:

How beautifully you are!
How beautiful she is ! = betapa cantiknya dia !!!

Selasa, 13 Maret 2012

Kemacetan DKI Jakarta dan Solusinya


Kemacetan  adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan. Kemacetan banyak terjadi di kota-kota besar, terutamanya yang tidak mempunyai transportasi publik yang baik atau memadai ataupun juga tidak seimbangnya kebutuhan jalan dengan kepadatan penduduk, misalnya Jakarta dan Bangkok.
Kemacetan lalu lintas menjadi permasalahan sehari-hari di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Penyebab kemacetan
Kemacetan dapat terjadi karena beberapa alasan:
  • Arus yang melewati jalan telah melampaui kapasitas jalan
  • Terjadi kecelakaan lalu-lintas sehingga terjadi gangguan kelancaran karena masyarakat yang menonton kejadian kecelakaan atau karena kendaran yang terlibat kecelakaan belum disingkirkan dari jalur lalu lintas,
  • Terjadi banjir sehingga kendaraan memperlambat kendaraan
  • Ada perbaikan jalan,
  • Bagian jalan tertentu yang longsor,
  • kemacetan lalu lintas yang disebabkan kepanikan seperti kalau terjadi isyarat sirene tsunami.
  • Karena adanya pemakai jalan yang tidak tahu aturan lalu lintas, spt : berjalan lambat di lajur kanan dsb.
  • Adanya parkir liar dari sebuah kegiatan.
  • Pasar tumpah yang secara tidak langsung memakan badan jalan sehingga pada akhirnya membuat sebuah antrian terhadap sejumlah kendaraan yang akan melewati area tersebut.
  • Pengaturan lampu lalu lintas yang bersifat kaku yang tidak mengikuti tinggi rendahnya arus lalu lintas
Dampak negatif kemacetan
Kemacetan lalu lintas memberikan dampak negatif yang besar yang antara lain disebabkan:
  • Kerugian waktu, karena kecepatan perjalanan yang rendah
  • Pemborosan energi, karena pada kecepatan rendah konsumsi bahan bakar lebih rendah,
  • Keausan kendaraan lebih tinggi, karena waktu yang lebih lama untuk jarak yang pendek, radiator tidak berfungsi dengan baik dan penggunaan rem yang lebih tinggi,
  • Meningkatkan polusi udara karena pada kecepatan rendah konsumsi energi lebih tinggi, dan mesin tidak beroperasi pada kondisi yang optimal,
  • Meningkatkan stress pengguna jalan,
  • Mengganggu kelancaran kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran dalam menjalankan tugasnya
Pemecahan permasalahan kemacetan
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk memecahkan permasalahan kemacetan lalu lintas yang harus dirumuskan dalam suatu rencana yang komprehentip yang biasanya meliputi langkah-langkah sebagai berikut:

Peningkatan kapasitas
Salah satu langkah yang penting dalam memecahkan kemacetan adalah dengan meningkatkan kapasitas jalan/parasarana seperti:
  1. Memperlebar jalan, menambah lajur lalu lintas sepanjang hal itu memungkinkan,
  2. Merubah sirkulasi lalu lintas menjadi jalan satu arah,
  3. Mengurangi konflik dipersimpangan melalui pembatasan arus tertentu, biasanya yang paling dominan membatasi arus belok kanan.
  4. Meningkatkan kapasitas persimpangan melalui lampu lalu lintas, persimpangan tidak sebidang/flyover,
  5. Mengembangkan inteligent transport sistem.
Keberpihakan kepada angkutan umum
Untuk meningkatkan daya dukung jaringan jalan dengan adalah mengoptimalkan kepada angkutan yang efisien dalam penggunaan ruang jalan antara lain:
  1. Pengembangan jaringan pelayanan angkutan umum
  2. Pengembangan lajur atau jalur khusus bus ataupun jalan khusus bus yang di Jakarta dikenal sebagai Busway,
  3. Pengembangan kereta api kota, yang dikenal sebagai metro di Perancis, Subway di Amerika, MRT di Singapura
  4. Subsidi langsung seperti yang diterapkan pada angkutan kota di Transjakarta, Batam ataupun Jogjakarta maupun tidak langsung melalui keringanan pajak kendaraan bermotor, bea masuk kepada angkutan umum,
Pembatasan kendaraan pribadi
Langkah ini biasanya tidak populer tetapi bila kemacetan semakin parah harus dilakukan manajemen lalu lintas yang lebih ekstrem sebagai berikut:
  1. Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi menuju suatu kawasan tertentu seperti yang direncanakan akan diterapkan di Jakarta melalui Electronic Road Pricing (ERP). ERP berhasil dengan sangat sukses di Singapura, London, Stokholm. Bentuk lain dengan penerapan kebijakan parkir yang dapat dilakukan dengan penerapan tarip parkir yang tinggi di kawasan yang akan dibatasi lalu lintasnya, ataupun pembatasan penyediaan ruang parkir dikawasan yang akan dibatasi lalu lintasnya,
  2. Pembatasan pemilikan kendaraan pribadi melalui peningkatan biaya pemilikan kendaraan, pajak bahan bakar, pajak kendaraan bermotor, bea masuk yang tinggi.
  3. Pembatasan lalu lintas tertentu memasuki kawasan atau jalan tertentu, seperti diterapkan di Jakarta yang dikenal sebagai kawasan 3 in 1 atau contoh lain pembatasan sepeda motor masuk jalan tol, pembatasan mobil pribadi masuk jalur busway
Ide tentang perpindahan ibu kota dan pembagian daerah (kota) sesuai dengan aktifitas terbesarnya juga mungkin merupakan solusi yang bisa dipertimbangkan, dipikirkan dan direncanakan secara matang. Namun itu merupakan solusi jangka panjang. Yang harus segera dilaksanakan, yaitu bagaimana untuk segera mengatasi kemacetan di Jakarta. Berikut ini, mungkin bisa menjadi solusi dalam mengatasi kemacetan di Jakarta, antara lain:

1. Jalur three in one lebih diperluas wilayahnya dan tidak menggunakan batas waktu.

2. Jalan-jalan yang dilalui busway yang menyebabkan penyempitan badan jalan harus segera diperlebar.

3. Membangun transportasi massal lain, seperti misalnya subway atau monorel

4. Menerapkan usia kendaraan yang layak beroperasi. Ini juga dapat mengurangi polusi.

5. Meningkatkan tarif pajak kendaraan bermotor, khususnya kendaraan roda empat.

6. Mengadakan pelatihan atau seminar kepada supir-supir angkutan umum  tentang keselamatan dan peraturan berlalu lintas.

7. Menegakkan aturan dengan menindak tegas semua pelanggar lalu lintas tanpa kecuali ataupun oknum polisi yang berbuat pungli.

8. Memperbanyak dan terus menerus mengingatkan masyarakat melalui spanduk, brosur, ataupun iklan tentang disiplin berlalu lintas. Baik di media Cetak ataupun media elektronik.